PEMP Teramputasi Birokrasi Keuangan

Oleh: M. Zaki Mahasin

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir atau yang lebih dikenal dengan PEMP merupakan program pemberdayaan masyarakat pesisir di seluruh wilayah Indonesia yang diinisiasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Program yang mulai dilaksanakan tahun 2001 ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat pesisir yang miskin dan tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan akses permodalan untuk usaha mereka.

Upaya untuk memberikan kesempatan akses permodalan bagi masyarakat pesisir adalah dengan membentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM ini semula merupakan lembaga masyarakat yang belum berbadan hukum yang disebut Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP M3). Dalam perjalanannya LEPP M3 ini akhirnya dibadanhukumkan agar bisa lebih berkembang melalui kerja sama dengan lembaga perbankan untuk pendampingan manajerial dan teknologi informasi.
Peran LKM adalah sebagai mediator kredit antara lembaga perbankan dan masyarakat. Persyaratan pengajuan kredit yang harus memenuhi berbagai persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh masyarakat pesisir direduksi oleh LKM sehingga masyarakat bisa memperoleh kredit dengan persyaratan yang relatif mudah. LKM pada akhirnya menjadi tumpuan dan salah satu alternatif solusi bagi terjaminnya ketersediaan kredit bagi masyarakat pesisir melalui mekanisme two steps loan yang melibatkan lembaga perbankan. Masyarakat pesisir yang semula merasa minder untuk mengajukan kredit ke LKM secara berangsur menjadi percaya diri mengingat kemudahan persyaratannya.
LKM hanya melayani kebutuhan kredit masyarakat pesisir skala mikro, yaitu di bawah Rp 50 juta. Hingga tahun 2007 tercatat telah terbentuk 256 unit LKM, 6 unit di antaranya berbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pesisir, yaitu di Kabupaten Agam, Pesisir Selatan, Pasuruan, Bima, Lombok Barat dan Selayar.
Selain itu, sekitar 58 unit mengaplikasikan banking online system, 25 unit menerapkan sistem syariah, dan sisanya masih konvensional. LKM-LKM inilah sebenarnya ujung tombak pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan yang selama ini kurang tersentuh. Oleh karena itu, paling tidak, PEMP secara khusus merupakan solusi atas tersumbatnya akses permodalan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir secara umum.

Tidak Sesuai Birokrasi Keuangan
Pemberdayaan masyarakat melalui aspek ekonomi yang telah dilaksanakan DKP melalui PEMP mengalami kendala ketika dihadapkan pertanggungjawaban administrasi keuangan. Program PEMP selama ini menggunakan mekanisme hibah yang kemudian oleh penerima program dijaminkan ke lembaga perbankan untuk mendapatkan kredit dari lembaga tersebut.
Oleh penerima, dalam hal ini LKM yang telah berbadan hukum koperasi, akan disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman. Apabila penyaluran dan pengembalian pinjaman berjalan dengan baik, maka lembaga perbankan dengan sendirinya akan memberikan kreditnya sendiri (bukan atas dasar jaminan) kepada LKM sebagai tambahan kredit untuk disalurkan kepada masyarakat. Hal ini penting mengingat banyaknya jumlah masyarakat pesisir yang belum mendapatkan pinjaman disebabkan keterbatasan anggaran lembaga perbankan untuk bisa memberikan kredit kepada masyarakat skala mikro.
Namun demikian dari sisi aspek administrasi keuangan (baca: birokrasi keuangan), mekanisme ini dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam proses pemeriksaan, program ini dianggap telah menyimpang dari ketentuan dalam beberapa hal.
Pertama, apabila menggunakan mekanisme hibah, maka tidak boleh lagi dijaminkan karena dana yang ada harus langsung diberikan kepada masyarakat sasaran. Kedua, LKM yang berbadan hukum koperasi tidak diperbolehkan untuk menerima program. Ketiga, penerima program, dalam hal ini LKM yang berbadan hukum koperasi bukanlah lembaga yang diperkenankan untuk melakukan penjaminan.
Menanggapi hal tersebut, maka perlu dilihat dari aspek pemberdayaan. Mekanisme hibah yang dilaksanakan Program PEMP sudah dimodifikasi tanpa melanggar ketentuan yang ada karena menggunakan pertanggungjawaban administrasi hibah. Namun demikian, mengingat hal yang lebih urgen, yaitu memberikan edukasi bagi masyarakat agar dapat menggunakan bantuan pemerintah dengan bijak, maka dibentuklah LKM yang dapat mengelola keuangan masyarakat dalam konsep yang sederhana.
Edukasi ini diharapkan dapat mengubah sikap hidup masyarakat pesisir, yang semula tidak mengenal budaya menabung, menjadi terbiasa menyimpan dana untuk kegiatan usahanya di saat musim paceklik laut. Selain itu, masyarakat pesisir dididik untuk terbiasa dengan administrasi pinjaman ke lembaga keuangan meskipun dalam konteks yang cukup sederhana.
Ke depan masyarakat diharapkan mampu mengelola keuangan sendiri untuk pengembangan usahanya. Namun apabila meksanisme hibah ini langsung diberikan kepada masyarakat sebagaimana penafsiran dalam pemeriksaan, maka bantuan yang ada akan hilang percuma dalam waktu sekejap tanpa bekas, berapa pun jumlahnya. Apakah itu yang diinginkan?
LKM yang berbadan hukum koperasi sebenarnya hasil dari proses metamorfosis lembaga masyarakat yang telah dibentuk sebelumnya, yaitu LEPP M3. Dalam proses pemberdayaan, pembentukan institusi masyarakat ini penting mengingat pemberdayaan tanpa institusi akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam pelaksanaan komando organisasi masyarakat itu sendiri.
Cita-cita pemberdayaan untuk memandirikan masyarakat tidak akan pernah tercapai tanpa proses institusionalisasi, meskipun dalam bentuk yang sederhana. Oleh karena itu, argumen yang menolak masyarakat secara institusi untuk menerima bantuan melalui hibah perlu ditinjau kembali. Sebab, masyarakat, baik secara individu maupun institusi tetap merupakan target pemberdayaan.
Melihat hal tersebut, keinginan untuk memandirikan masyarakat melalui program pemberdayaan akan mengalami hambatan, karena mekanisme hibah yang dimodifikasi dengan tujuan baik dianggap tidak sesuai dengan aturan yang ada. Apakah substansi harus kalah oleh administrasi? Apakah akan selamanya program pemberdayaan dihadapkan dengan birokrasi keuangan?

Koreksi Tanpa Solusi
Pelaksanaaan program pemberdayaan pasti akan mengalami beberapa penyempurnaan dengan mempertimbangkan konteks ruang dan waktu. Apabila telah mencapai stabilitas pada tahap tertentu, maka bisa dianggap sebagai tahapan metamorfosis pemberdayaan.
Demikian halnya dengan Program PEMP yang telah mengalami beberapa kali penyempurnaan. Hal ini menunjukkan bahwa program pemberdayaan sebagaimana program-program yang lain tidak luput dari koreksi. Koreksi yang bijak akan mengarahkan bagaimana program bisa berjalan lebih baik, dan sesuai dengan prinsip administrasi yang berlaku.
Namun yang terjadi pada Program PEMP adalah koreksi tanpa upaya penyempurnaan demi keberlangsungan program tersebut di masa mendatang. Program ini dikoreksi untuk kemudian dianggap gagal karena tidak sesuai dengan prinsip birokrasi keuangan. Inilah yang penulis anggap sebagai koreksi tanpa solusi.
Program PEMP yang pada ’masanya’ telah memberikan solusi bagi kebutuhan permodalan masyarakat pesisir telah teramputasi oleh aturan birokrasi keuangan yang tidak mendukung. Masihkah kita mempunyai kepedulian kepada masyarakat pesisir yang selalu dililit kesulitan?

Penulis adalah Staf Pengelola Program Pemberdayaan Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Sumber: Majalah Samudra -Online

× Chat WA Langsung Klik