Eksotisme Arsitektur Kuno di Yogyakarta

Eksotisme Arsitektur Kuno di Yogyakarta

Selama ratusan tahun tinggal di Yogyakarta – Indonesia, Bangsa Belanda meninggalkan sejumlah bangunan bersejarah dengan arsitektur bergaya Eropa yang masih bisa Anda nikmati keindahannya hingga kini.

LOJI – Kawasan Indische Pertama di Yogyakarta

Bangunan-bangunan itu oleh warga Yogyakarta sering disebut loji karena ukurannya yang besar dengan halaman yang luas.

Benteng Vredeburg (Loji Besar)


Bangunan benteng yang sering disebut Loji Besar atau Loji Gede itu dibangun pada tahun 1776 – 1778, hanya dua tahun berselang setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, salah satu pecahan kerajaan Mataram. Benteng yang semula bernama Rustenburg itu konon sengaja didirikan di poros Kraton – Tugu agar bisa mengawasi gerak-gerik Kraton. Semasa Loji Besar masih digunakan sebagai benteng, terdapat sebuah meriam yang sengaja diarahkan ke Kraton dalam posisi siaga tembak sehingga memudahkan penyerangan. Hal itu dilakukan agar pihak Kraton mengakui bahwa Belanda memiliki kekuatan.

Sebagai ‘sesepuh’ bangunan Indische di Yogyakarta, selain fungsi bangunan yang berbeda, Benteng Vredeburg memiliki ciri khas tersendiri dari bangunan kolonial disekitarnya yang dibangun pada awal abad 19. Vredeburg dibangun pada pertengahan abad 17, dimana pada masa itu Arsitektur Kolonial Belanda yang sedang berkembang mulai menyesuaikan arsitektur dengan iklim setempat. Sehingga penggunaan rumah tradisional Jawa yang dilihat sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat digunakan sebagai tipologi bangunan Belanda dengan penambahan elemen-elemen ciri khas arsitektur Belanda seperti jendela besar, tembok yang tebal dan pintu sebagai identitas si empunya bangunan. Pada bangunan pengapit utara dan selatan dan gerbang sebelah barat, juga masih terlihat gaya Arsitektur Yunani pada masa Reinasance (yang berjaya pada abad 15 sampai abad 17).

Gedung Agung (Loji Kebon)

Loji Kebon, kini dikenal dengan nama Gedung Agung. Bangunan yang juga bergaya eropa itu didirikan tahun 1824 dan digunakan sebagai Gedung Karesidenan. Halaman Loji Kebon sangat luas dan dihiasi arca-arca yang dikumpulkan para pejabat Belanda dari penjuru kota Yogyakarta. Tahun 1912, kompleks Loji Kebon dilengkapi dengan bangunan Societeit de Vereniging, tempat pejabat Belanda berdansa dengan iringan biola.
Seperti halnya Loji Besar, Loji Kebon pun juga menjadi saksi sejarah. Pembangunan gedung yang dirancang A Payen ini sempat berhenti karena Perang Diponegoro tahun 1825 – 1830 yang hampir membuat pemerintah Belanda bangkrut. Pada Masa Jepang, gedung ini menjadi kediaman petinggi Jepang bernama Koochi Zimmukyoku Tyookan. Demikian pula sejak ibukota Indonesia berpindah ke Yogyakarta 6 Januari 1946, gedung ini menjadi istana kepresidenan. Hingga kini, meski ibukota Indonesia berpindah lagi ke Jakarta, gedung ini tetap berstatus istana kepresidenan.

Loji Kecil

Loji Kecil yang berlokasi di sebelah timur Vredeburg kini, tetapnya wilayah Shopping hingga hampir perempatan Gondomanan. Berbeda dengan Loji Besar yang berfungsi sebagai benteng dan Loji Kecil yang berfungsi sebagai gedung pemerintahan, Loji Kecil berfungsi sebagai wilayah hunian. Di kawasan itu juga terdapat Gedung Societet Militair yang dahulu digunakan sebagai tempat para serdadu militer Belanda bersantai.
Kawasan Loji kecil merupakan pusat kawasan hunian orang Belanda pertama di Yogyakarta. Sejumlah fasilitas pendukung kini juga masih bisa dinikmati keindahannya, misalnya gereja Protestansche Kerk yang berdiri tahun 1857 (kini menjadi Gereja Kristen Marga Mulya, berlokasi di utara Gedung Agung) dan Gereja Fransiskus Xaverius Kudul Loji (bangunan lama) yang berdiri tahun 1870, berada di sebelah selatan kawasan Loji Kecil.

Loji Setan

Loji Setan. Dinamakan demikian karena gedung yang hingga kini tak diketahui tahun pembangunannya itu dikenal angker. Banyak orang mengatakan, pada ruang sebelah timur dan aula tengah sering terdengar suara orang minta tolong dan suara iringan musik dansa. Gedung yang kini berfungsi sebagai kantor DPRD ini menurut cerita pernah disinggahi Gubernur Jendral Raffles pada tanggal 15 Mei 1812, saat Belanda sudah berkuasa di Yogyakarta.
Loji Setan sejak beberapa lama memiliki beragam fungsi. Di masa lalu, gedung ini sering digunakan untuk tempat bermeditasi dan sebagai ruang pameran, misalnya pameran oleh Luch Bescherming Dienst pada tahun 1940. Pasca Kemerdekaan, gedung yang pada awalnya bernama Loji Marlborough ini digunakan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia (1945 – 1949), kantor Dewan Pertahanan Negara dan penyelenggaraan sidang Kabinet (1948).

BINTARAN – dari Kediaman Pangeran Bintoro ke Kawasan Indische

Bintaran merupakan kawasan hunian alternatif bagi orang Belanda yang menetap di wilayah Indonesia, berkembang setelah kawasan Loji Kecil tak lagi memadai. Perkembangan Bintaran sebagai pemukiman Indische diperkirakan dimulai tahun 1930an . Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah yang bekerja sebagai opsir dan pegawai pabrik gula.

Ndalem Mandara Giri

Arsitektur bangunan ndalem tersebut merupakan perpaduan Jawa dan Belanda. Ciri Jawa terlihat dari adanya pendopo yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara, ciri bangunan Belanda terlihat dari ruangan yang lebar dan berdinding tinggi serta jendela khas Belanda yang besar dan memiliki dua daun.Setelah ditinggalkan Pangeran Haryo Bintoro, bangunan ini sempat ditinggali oleh trah kraton lainnya. Pendopo ndalem yang cukup lebar sejak lama telah digunakan sebagai ruang pameran keris, bahkan setelah rumahnya sendiri dikosongkan sejak tahun 1997. Kini,dimanfaatkan sebagai kantor Karta Pustaka, sebuah lembaga Indonesia Belanda.

Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman

Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman yang bisa ditemui persis di sisi kiri jalan Jalan Bintaran. Dahulu, bangunan yang berdiri tahun 1890 itu dimanfaatkan sebagai kediaman pejabat keuangan puro Paku alam VII bernama Wijnschenk. Bangunan itu juga sempat menjadi rumah dinas Jendral Soedirman, kemudian kediaman Kompi Tukul setelah kemerdekaan.

Museum Biologi (kantor Komando Pemadam Kebakaran)

Bangunan Museum Biologi yang berada di Jalan Sultan Agung dahulu dimanfaatkan sebagai tempat tinggal pengawas militer daerah Pakualaman. Kediaman seorang warga Belanda bernama Henry Paul Sagers, kini dimanfaatkan sebagai kantor Komando Pemadam Kebakaran.

Bangunan masih sangat terpengaruh oleh pengaruh gaya Indisch Empire. Hal ini didukung oleh tampilan fasad yang sangat simatris. Kolom terlihat lebih ramping.

Penjara Belanda (Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan)

Bentuk yang memperlihatkan pengaruh arsitektur Indische  terlihat pada bentuk massa bangunan yang massif, unsure simetris terlihat pada tampak, namun ornament tidak banyak dipergunakan.
Tampak bangunan massif, namun penanda muka atau jalur masuk terlihat dari jenis bukaan yang labar baik untuk pintu maupun jendela.
Penggunaan material modern seperti tembok beton menjadi dominan, hal ini tak lepas dari fungsinya sebagai lembaga pemasyarakatan yang menuntut keamanan lebih dibandingkan bangunan dengan fungsi lain

Gereja Santo Yusuf

Gereja Bintaran didirikan atas ide orang Jawa yang merasa tidak sreg dengan cara berdoa orang Belanda. H. van Driessche. SJ, seorang keturunan Belanda Indonesia menjadi koordinator pendirian gereja yang berlokasi di ujung selatan Jalan Bintaran ini. Penamaan gereja yang berdiri tahun 1931 ini menjadi Gereja Santo Yusuf berkaitan dengan permohonan Driessche pada Santo Yusuf ketika sulit mencari lokasi gereja.

Kotabaru

Kawasan Kotabaru di Kota Yogyakarta dulu oleh pemerintah Hindia Belanda disiapkan sebagai tempat pemukiman orang Eropa. Kawasan ini terletak di sebelah timur Sungai Code yang masuk wilayah Kecamatan Gondokusuman.

Dulu pada zaman Hindia Belanda pusat kegiatan pemerintahan berada di kawasan Malioboro dan sekitarnya seperti Benteng Vredeburg, Gedung Societet Militer, Gedung Agung yang dulu menjadi tempat tinggal Residen Belanda, kantor kepolisian Ngupasan dan lain-lain.

Nah, Kotabaru dulu dibangun sebagai tempat pemukiman orang-orang Eropa yang bekerja dan tinggal di Yogyakarta. Kawasan Kotabaru dirancangnya sebagai sebuah kota taman yang berbentuk radial. Para arsitek, arkeolog ataupun sejarawan menyebutnya kawasan Kotabaru.


Pepohonan rimbun di Kotabaru (Bagus/detikTravel)

Gedung Balai Bahasa yang bergaya Eropa (Bagus/detikTravel)

Tampak Kotabaru sebagai kota bergaya Indisch. Bangunan atau rumah-rumah peninggalan Belanda itu sampai sekarang masih ada, meski sudah ada yang berubah menjadi kantor, sekolah, maupun rumah tinggal.

Beberapa ciri yang nampak adalah semua jalan yang terhubung satu sama lain, ada tempat publik seperti lapangan, taman dengan pepohonan besar yang rindang dan lain-lain. Jalan-jalan yang lebar dengan pohon-pohon besar yang sampai sekarang masih tumbuh dan terawat.

Jejak-jejak peninggalan Belanda dengan gaya Indisch itu sampai sekarang masih kita temui di kawasan Kotabaru. Daerah Kotabaru yang pertama kali dibuat oleh Belanda. Sedangkan yang kedua adalah kawasan Sagan hingga RS Panti Rapih yang dulunya disebut Rumah Sakit Onder de Bogen, Yap Boulevard.
Gereja Santo Antonius (Bagus/detikTravel)


Salah satu ciri yang sampai sekarang tidak hilang dan masih ada adalah jalan yang menghubungkan pusat kota saat itu atau kawasan Malioboro yang dulu menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda dengan kawasan Kotabaru. Jalan itu dulunya bernama Kerk Weg (Jalan Gereja) atau jalan menuju Gereja Santo Antonius. Oleh orang Jawa kemudian disebut menjadi jalan Kreteg Kewek yang di atasnya ada jalan kereta api.

Saat ini jalan tersebut bernama Jl Abu Bakar Ali, nama salah satu pahlawan yang gugur dalam pertempuran antara rakyat Indonesia dengan Tentara Jepang di awal kemerdekaan tahun 1945 di Kotabaru yang dulu juga pernah menjadi tangsi militer Tentara Jepang.

Di Kotabaru dari wilayah bagian barat beberapa bangunan peninggalan Belanda yang masih bisa kita temui seperti Gereja Santo Antonius, Gedung Kolese Santo Ignasius (Kolsani), Gereja HKBP, gedung SD Ungaran, SMA 3 eks gedung AMS (Algemene Middelbare School), Kantor Asuransi Jiwasraya, Gedung Museum Sandi, Kantor Balai Bahasa, gardu listrik milik Electrische Centrale van de Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) serta masih banyak rumah-rumah peninggalan Belanda yang kemudian rumah tinggal.


Mobil parkir di depan gedung SMP 5 yang antik (Bagus/detikTravel)
Sedangkan di sisi timur bangunan peninggalan Belanda lainnya yang masih bisa dilihat adalah rumah dinas Komandan Korem 072 Pamungkas dan tangsi militer Kotabaru, gedung SMP 5 dulu eks gedung Normaalschool, SMA Bopkri 1, RS Tentara/DKT.

Sedangkan dibagian utara yakni di Jl Sudirman di antaranya Rumah Sakit Bethesda, Museum TNI Dharma Wiratama, Kantor DPD Golkar DIY, rumah Mr Djody Gondokusumo.

Pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai pohon perindang di antaranya jenis pohon Tanjung, Beringin, Preh dan lain-lain. Dua lapangan bola yang sampai sekarang masih ada adalah lapangan sepak bola SMA 3 dan Stadion Kridosono serta kolam renang Umbang Tirta.


Gardu listrik Belanda yang penuh grafitti (Bagus/detikTravel)
Di bagian barat terutama sepanjang Jl Faridan M Noto, Jl I Dewa Nyoman Oka dan Jl Suroto masih ada jalan yang bagian tengahnya ada taman dengan pohon perindang pohon Tanjung.

“Kawasan Kotabaru termasuk kawasan Indisch untuk permukiman Eropa, dengan beberapa ciri seperti adanya ruang publik seperti lapangan dan taman,” ungkap
sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr S Margana, MPhil kepada detikTravel.

Kotagede – Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Mataram Islam (Abad ke-16)

Disebut Kotagede adalah karena pada zaman dahulu, kawasan ini merupakan Ibu Kota nya kerajaan Mataram Islam. Kota Gede (Gede = Besar) disebut demikian karena pada masa lalu kota ini didatangi banyak penduduk, mungkin seperti kota jakarta kalo sekarang. Maka tak heran jika kemudian di Kotagede bisa dengan mudah di temui bangunan-bangunan bersejarah sisa peninggalan kerajaan mataram yang merupakan cikal bakal kerajaan Jogjakarta. Bangunan-bangunan ini merupakan cagar budaya yang di lindungi keberadaannya.
Kotagede merupakan saksi bisu dari tumbuhnya Kerajaan Mataram Islam yang pernah menguasai hampir seluruh Pulau Jawa. Makam para pendiri Kerajaan Mataram Islam, reruntuhan tembok benteng, dan peninggalan lain bisa kita temukan di Kotagede.

Kompleks Makam Pendiri Kerajaan


Kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.
Terdapat 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, harus mengenakan busana adat Jawa . Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.

Masjid Kotagede


Masjid Kotagede, masjid tertua di Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. terdapat lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi kompleks makam.

Kedhaton

3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan “watu gilang”, sebuah batu hitam berbentuk bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk lingkaran:
ITA MOVENTUR MUNDU S – AINSI VA LE MONDE – Z00 GAAT DE WERELD – COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS – IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU – IGM (In Glorium Maximam).

Dalam bangunan itu juga terdapat “watu cantheng”, tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa “bola” batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.

 

 

 

Sumber :

http://hajingfai.blogspot.co.id/2012/01/eksotisme-arsitektur-kuno-di-yogyakarta.html#ixzz4ljEgB4tI

https://travel.detik.com/domestic-destination/d-3172081/kotabaru-jejak-eropa-di-yogyakarta-yang-kamu-mungkin-belum-tahu

 

× Chat WA Langsung Klik